Saya melakukan poliandri karena kondisi yang saya sendiri tidak mengetahui bahwa yang saya lakukan ini sudah termasuk poliandri. Berawal dari sang suami yang pulang ke rumah orang tuanya dalam waktu yang cukup lama karena sang suami mengalami musibah kecelakaan yang mengharuskan adanya perawatan yang intensif dan solusinya saat itu sang suami ingin pulang ke rumah orang tuanya.
Saya sendiri tidak dapat menemani sang suami di rumah mertua karena saya tinggal dengan seorang anak perempuan kami yang masih balita dan tinggal di rumah ibu saya yang sudah menjanda. Tentu saja dengan musibah yang dialami sang suami, saya tidak memiliki uang dapur untuk makan dan kegiatan kami sehari-hari.
Lalu saya berkenalan dengan seorang pria yang menurut saya sangat perhatian dengan kondisi yang saya alami dan bermaksud untuk menjadi pelindung saya dan anak saya. Saya bicarakan hal ini dengan sang suami dan ibu mertua, ibu mertua membolehkan. Dan kami sepakat bahwa secara agama kami bercerai dengan sang suami, sang suami akan memberikan uang santunan tiap bulannya dalam nominal yang disepakati.
Lalu saya menikah dengan pria pilihan saya tersebut walaupun status saya secara negara belum bercerai dengan suami saya. Dan ini diketahui oleh calon suami saya yang baru.
Hari-hari sudah saya lalui dengan suami kedua ini namun mengapa sekarang tiap hari selalu saja ada masalah. Kehidupan rumah tangga kami setiap hari ada saja keributan, percekcokan, seperti layaknya dalam nereka. Tidak ada ketenangan yang saya dapatkan sekarang. Apalagi musibah demi musibah mulai berdatangan membuat saya labil tak tahu lagi arah.
Kisah Poliandri di atas adalah kisah nyata dari seorang teman. Minimnya keilmuan agama disertai kondisi kehidupan nyata terkadang membuat kita tidak mampu berfikir jernih. Kecenderungan untuk memilih kesenangan yang diperoleh dalam jangka pendek lebih dominan yang terkadang untuk jangka panjang akan berdampak musibah yang lebih besar.
Ini adalah salah satu kasus poliandri yang ada, dan diluar rumah kita banyak hal seperti ini terjadi.
wahh ada juga ya selain poligami ada poliandri juga :D
ReplyDeleteBinggung mau ngaish komentar apa takut salah
ReplyDeletesaya ga dukung poliandri atau poligami. hihi. kasian salah satu pihaknya nanti :D
ReplyDeleteSaya setuju dengan mba Ata, namun ada kondisi tertentu untuk suami boleh poligami, dalam kondisi tertentu...
ReplyDeletekira kira...apa yang seharusnya diperbuat dalam situasi itu ya? Kalau secara agama udah bercerai, tapi secara catatan negara belum apa masih bisa disebut suami istri?
ReplyDeletebaca kisahnya jadi merinding nih.
ReplyDeleteuntuk postingan kaLi no-coment deh, mungkin yang Lebih berpengaLaman bisa meLengkapi soLusinya.
Cuap-cuap lagi ach, coba untuk bercerai dengan suami pertama adja biar nggak ploandri
ReplyDelete@Aguestri, Yang jadi masalah, perkawinan dengan suami kedua sudah terjadi sementara status legal dengan suami pertama belum bercerai...
ReplyDeletesaya sih masih awam untuk masalah itu
ReplyDeletetapi menurut saya asalkan adil tidak mengapa. tetapi itu sangat sulit sekali untuk dilakukan. Berdoa kepada-Nya karena Hanya Allah yang Maha Adil.
Poligami aja yang ada hukumnya, masih menjadi perdebatan ada yang pro dan kontra. apalagi poliandri !!!?????
ReplyDeletekaLo si_om piLih poliponik aja ach, suaranya enak enggak bikin teLingan nging-nging, hehehe...
ReplyDelete----------
iya Ummi, fotonya si_om di copot dari tahta. biasa Lagi diet tempLate, kasian yang kunjung kaLo Loadingnya keLamaan. Lagi puLa fotonya kan udah ada di dasbor.
aneh....
ReplyDelete