Aku ambil kanan untuk menyalibnya, tapi …. doR!!!....cessss…. ngik!!! Dugdug… dugdug… dugdug… aku berada dalam dunia sadar dan tak sadar, dadaku terasa sesak untuk bernapas dan yang lebih dari itu ada rasa sakit yang luar biasa di sekitar pinggul kiri dan lutut kaki kiriku.
Aku menjerit, “sakiiit….! Sakiiit….! Abii…! Abii…!” kaki kiriku terikat kain serba putih yang membalut papan sepanjang pinggulku hingga tumit. “ya Allah… ya Allah,” sakit ini luar biasa sekali.
Beberapa jam kemudian aku melihat kedatangan sosok yang membuat aku bertahan. Sosok yang tetap tenang ketika musibah menerjang. Dialah suamiku, memberiku semangat untuk mengingat asma-Nya ketimbang kata-kata yang tak berguna. Dia membelaiku, mengusap-usap rambutku sambil ku dengar ia berdesis "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun, Allahumma ajurni fii musibati, wakhlufli khoiron minha" itulah yang selalu diulang-ulangnya.
Setelah suamiku berkoordinasi dengan pihak mobil yang menabrakku dan dengan pihak rumah sakit, aku dimasukkan ke dalam mobil ambulance. Aku baru ingat bahwa suamiku paling menghindari berurusan dengan polisi maupun rumah sakit. Itu sudah harga mati prinsip suamiku yang diterapkan pada keluarga kami.
Mobil ambulance membawaku ke suatu desa terpencil yang sebenarnya dekat dengan tempat tinggal orang tuaku. Desa itu bernama “Kejuden blok walikukun”. Di blok tersebut tinggal seseorang yang biasa dipanggil “Bapa Dik” yang dikenal sebagai “Ahli dalam hal patah tulang.”
Di pengobatan patah tulang ini bapa Dik merawatku dengan penuh kesabaran dibantu tiga orang anak beliau. Semua balutan dari rumah sakit dilepas dan diganti dengan balutan kayu baru yang terlebih dahulu tulang-tulangku yang patah disambungkan oleh bapa Dik.
Aku baru sadar mengapa ketika di rumah sakit kakiku dipaksa diluruskan dengan papan lalu dibalut ikatan kain dan terasa sangat sakit sekali? Ya, karena tulang-tulangku yang patah belumlah diluruskan. Tetapi di bapa Dik, setelah terlebih dahulu tulang-tulangku yang bermasalah di olah, lalu dipasang papan dan di ikat kembali, aku sudah tidak merasa sakit lagi.
Tapi, selama sebulan kaki kiriku dipasang papan benar-benar terasa menyiksa. Aku hanya terbaring dan yang melayaniku dari makan, minum, buang hajat dan lainnya adalah suamiku. Dan yang paling menyiksaku adalah aku tidak dapat selama bersama “Megami—putri kecilku” yang baru berusia 2 tahun 10 bulan. Itulah hal yang paling sulit aku terima.
Bagaimana rasanya seorang ibu yang harus berpisah dengan anaknya satu-satunya dan sedang lucu-lucunya. Aku selalu minta pada suamiku untuk menjemput Megami, tapi Megami hanya menengokku dengan neneknya di hari minggu. Ia tidak mau dekat denganku, ia merasa takut melihatku. Bagaimana tidak…. Tulang pipi kiriku membengkak sebesar buah jeruk, putik mataku berwarna merah dan kakiku terbalut papan dengan kain putih.
Bapa Dik menasehati ku dan suami supaya menjalani terapi beliau selama minimal dua bulan. Tapi, aku tak mampu berlama-lama berpisah dengan Megami.
Aku sempat berkenalan dengan beberapa pasien bapa Dik yang banyak. Diantaranya adalah dik Ari. Anak lelaki—pelajar SMP 1 Cirebon, tinggal di jalan bahagia, Cirebon—yang diterapi oleh bapa Dik sudah 2 bulan ketika aku baru datang. Ari menabrak trotoar yang menyebabkan kaki kirinya patah. Dan beberapa hari setelah aku disitu Ari sedang belajar jalan kaki dan beberapa hari kemudian ia boleh pulang.
Itu 10 bulan yang lalu. Dan bapa Dik-pun sudah berpulang kepada Sang Penciptanya. Saat ini aku masih menggunakan satu tongkat untuk berjalan. Biarlahlah kujalani ujian Allah ini dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Dan benar apa yang suamiku selalu ingatkan,”Allah akan ganti musibah ini dengan sesuatu yang jauh lebih baik”.
Saat ini banyak hal yang kudapat. Terutama aku dapat selalu bersama Megami dan suami -- yang selama ini selalu membimbingku, melindungi, menerima keluh kesahku, yang siap menghadapi tantangan hidup baik yang terasa menyenangkan maupun menyedihkan.
Aku lebih banyak membaca, mengkaji Al-Qur’an dan buku-buku tafsir serta hadits disamping buku-buku yang bermanfaat lainnya. Aku berusaha menulis apa yang pernah kulalui di masa laluku.
huwaaaaaaa, nice post neesan nurul ^^, oooo baru ngeh namae no kodomo wa megami, jepunk banget ^^, nama yang bagus ^________^, yang sabar ya kak nurul, semua ada hikmahnya, btw kok ari bisa nyasar kesitu ya???? tuh kan ari itu nama co ^^, gpp baelah jadi ari bisa sekuat anak laki2 heheheheheheh
ReplyDeleteTadinya saya pikir ummiega itu umminya si ega hihi, taunya umminya megami ^_^...nama yang indah
ReplyDeleteSebelumnya salam kenal ya mba, nama kita hampir mirip loh, cuma bedanya mba Nurul khayati, klo saia gak pake "k".. hehe..
Pasti ada hikmah dibalik semua kejadian, mba beruntung punya suami seperti ustadz zen...
"BADAI PASTI BERLALU MBA...."
Ganbarimashou!! ^_^
hmmmm, kini sdh tau kisah sesungguhnya. yg tabah yah Ummi.
ReplyDeletekunjungan balasan gan.
ReplyDeleteambil hikmahnya saja gan biar tambah kuat iman
tapi sekarang semua baik-baik saja kan? DIA selalu punya rahasia, positive thinking aja mbak... :)
ReplyDelete